MIGRASI suku bangsa Jawa ke mancanegara umumnya hanya diketahui berlangsung ke Suriname di Amerika Selatan. Masyarakat Jawa Suriname yang mulai didatangkan sebagai kuli kontrak tahun 1890 sudah mengorganisasi diri pada tahun 1918 dalam perkumpulan bernama Tjintoko Moeljo.
Suasana pabrik kayu lapis di Kota Paramaribo, Republik Suriname, pada tahun 1950-an. Warga Suku Jawa banyak yang bekerja di pelbagai sektor industri di Suriname setelah berakhirnya era perkebunan.
Duta Besar Republik Suriname untuk Republik Indonesia Angelic Caroline Alihusain-del Castilho mengatakan, masyarakat Jawa Suriname terkonsentrasi di sejumlah distrik, seperti Commewijne, Saramacca, dan Nickerie.
Selanjutnya masyarakat Jawa mendirikan masjid dan Perkumpulan Islam Indonesia pada tahun 1932. Namun, ada keunikan karena perbedaan soal kiblat bagi masyarakat Jawa di Suriname. Suriname berada di sebelah barat Kota Suci Mekkah, Arab Saudi, sedangkan masjid di Indonesia, yang berada di sebelah timur Arab Saudi, memiliki kiblat ke barat.
”Akhirnya ada kelompok yang membangun masjid dengan berkiblat ke barat seperti di Jawa. Tetapi, ada juga yang membangun masjid dengan berkiblat ke arah timur sesuai letak Suriname yang berada di barat Arab Saudi. Meski demikian, semua hidup rukun,” kata Del Castilho.
Selepas Republik Indonesia merdeka, sempat satu rombongan Jawa Suriname kembali ke Tanah Air. Presiden Soekarno memberikan lahan di Sumatera Barat yang dinamakan para migran Jawa Suriname sebagai Tongar. Proyek tersebut gagal sehingga tidak ada rombongan berikut yang kembali dari Suriname ke Indonesia.
Semasa persiapan hingga kemerdekaan Suriname, Toekiman Saimbang, diplomat Suriname di Jakarta, mengatakan, banyak warga suku Jawa yang memilih hijrah ke Negeri Belanda.
”Keluarga Jawa Suriname pasti punya kerabat di Holland. Demikian pula keluarga saya,” ujar Toekiman. Mereka memiliki kedekatan khusus dengan Belanda sebagai rumah kedua orang Jawa Suriname.
Toekiman memperkirakan ada sekitar 40.000 orang Jawa Suriname yang tinggal di Belanda saat ini. Keberadaan mereka menambah jumlah masyarakat Indisch (Indo) di Belanda yang berasal dari Maluku, Sulawesi, Jawa, Tionghoa, dan Indo-Eropa.